Pemerintahan di Wilayah Syam (Syria)
Dalam proses penghijrahan suku, beberapa orang Quda’a mencapai
perbatasan Syria di mana mereka menetap. Mereka tergolong dalam keluarga Sulaih
bin Halwan, yang keturunannya adalah putra Duj‘am bin Sulaih yang dikenal
sebagai Ad-Duja‘ima.
Kisah Pemilik Hidhr:
Hidhr adalah sebuah benteng yang sangat besar. Ia dibangun oleh
Raja Sathirun di pinggiran Sungai Eufrat. Benteng itu sangat tinggi dan luas,
dan luasnya laksana sebuah kota yang besar. Benteng itu sangat indah, unik, dan
bagus. Semua negeri dan wilayah terhimpun di dalamnya. Nama asli As-Sathirun
adalah Adh-Dhaizin bin Mu’awiyah bin Ubaid bin Ajram, berasal dari bani Sulaih
bin Halwan bin Al Haaf bin Qadha’ah.
Sebagian lain berkata, “Ia berasal dari Jaramiqah. Ia salah seorang
raja Thawaif. Ia mengutamakan Thawaif jika berkumpul untuk menyerang musuh
daripada yang lain. Bentengnya berada di antara Sungai Dajlah dan Sungai
Eufrat.
Ibnu Hisyam berkata, “Kisra Sabur Dzulaktaf menyerang As-Sathirun,
sang pemilik Benteng Hidhr.”
Disebutkan oleh As-Suhaili, “Sesungguhnya yang menyerang pemilik
Benteng Hidhr adalah Sabur bin Azad Syair bin Babik, raja pertama yang muncul
dari bani Sasan. Ia Raja Thawaif yang paling hina. Ia dikembalikan kepada para
Kisra. Adapun Sabur Dzulaktaf bin Hurmuz, muncul beberapa abad setelah itu.”
Ibnu Hisyam berkata, “Kisra mengepung As-Sathirun selama 2 tahun.”
As-Sathirun iri kepada negeri Sabur di Irak, ketika ia sedang tidak
ada. Putri As-Sathirun yang bernama An-Nadhirah melihat Sabur yang sedang
mengenakan pakaian dari sutra dan di atas kepalanya mahkota dari emas
bertatahkan batu mulia, intan, dan permata, indah sekali. Ia lalu dengan
sembunyi-sembunyi mendekat kepadanya dan berkata, “Apakah engkau mau menikahiku
jika aku bukakan untukmu pintu-pintu Hidhr?” Sabur menjawab, “Ya.”
Pada sore hari As-Sathirun minum hingga mabuk berat. Ia tidak tidur
kecuali sedang mabuk. An-Nadhirah mengambil kunci-kunci pintu Hidhr di bawah
kepalanya, kemudian mengirimnya melalui budak yang ia miliki.
Setelah itu pintu Hidhr terbuka.
Dikatakan, “An-Nadhirah menunjuki mereka sungai yang menjadi jalan
masuk air. Sungai itu sangat luas sehingga mereka dapat masuk dari sungai itu
menuju Hidhr.”
Dikatakan pula, “An-Nadhirah menunjuki mereka dengan tulisan yang
ada di atas Hidhr.”
Menurut mereka Hidhr tidak akan terbuka hingga diambil seekor
burung dara berwarna abu-abu. Kemudian kedua kakinya diberi warna dengan darah haid
gadis muda hingga berwarna biru. Setelah itu burung dilepaskan. Jika ia tepat
di atas pagar Hidhr maka tulisan mantra akan jatuh dan akan membuka pintu. Hal
itu dilakukannya hingga pintu terbuka.
Sabur pun berkata kepadanya, “Apakah ini yang menjadikan engkau
tidak bisa tidur?” Ia menjawab, “Ya.” Sabur berkata lagi, “Apa yang biasa
dilakukan Ayahmu terhadapmu?” Ia menjawab, “Ia menggelar beludru dan memakaikan
sutra kepadaku. Memberiku makan berupa otak dan memberiku minuman berupa arak.”
Sabur berkata, “Apakah balasan untuk Ayahmu berupa apa yang engkau perbuat
terhadapnya? Engkau akan lebih cepat mencelakakanku.”
Ia lalu mengeluarkan perintah berkenaan dengannya, maka
kuncung-kuncung rambutnya diikatkan ke ekor kuda. Kuda pun menyepaknya dengan
kedua kakinya sehingga An-Nadhirah mati.
(kredit: https://umma.id/article/share/id/6/223029